Benarkah orang gila punya hak pilih? Tadinya saya pikir ini biasa saja dan tidak mungkin orang gila bisa sampai di tps dan mengambil hak suaranya. Tapi ternyata belakangan muncul sosialisasi kpu tentang pemilu di depan orang gila. Ini bener? Gila!

Ini artinya hak pilih orang gila sudah disalahgunakan dan sudah bukan pada tempatnya lagi. Mengapa demikian? Karena pada hakekatnya orang gila tidak diberikan hak pilih sebagaimana tercantum dalam syarat-syarat pemilih pada Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 pasal 4 ayat (2) poin b yang berbunyi:

tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;

Syarat ini sebenarnya sudah cukup untuk menghalangi orang gila memilih dalam pemilu. Namun ternyata KPU melanjutkan lagi poin ini kedalam ayat selanjutnya yang merupakan legalitas hukum dari status ‘gila’ yang dilarang memilih.

 

Orang Gila dan Surat Keterangan Dokter

Agar ada kejelasan batasan mengenai terganggu jiwa/ingatannya maka KPU menjelaskan dalam Pasal 4 ayat (3) sebagai berikut:

Pemilih yang sedang terganggu jiwa dan ingatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai Pemilih, harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Nah, di poin inilah yang menjadi biang kerok dari permasalahan gila ini.

Logikanya, adakah orang gila yang mau mengurus surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa dia terganggu jiwa/ingatannya? Sekalipun pasien rumah sakit jiwa bisa dipastikan tidak akan ada orang gila yang sewaras itu.

Lantas jika tidak ada orang gila yang mau membuat surat keterangan dokter tersebut kita biarkan mereka ikut andil menggunakan hak pilih yang bahkan mereka tidak mengerti apa yang dilakukannya? Itulah yang terjadi saat ini. Sehingga hari ini ada sosialisasi tentang pemilu yang dilakukan dihadapan orang yang terganggu jiwa/ingatannya.

Secara sederhana seharusnya pada Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 Pasal 4 ayat (2) point b di atas tentu sudah cukup memberikan penegasan bahwa yang terganggu jiwa/ingatannya tidak memiliki hak memilih. Dalam lingkungan keseharian kita tentu dapat secara baik membedakan mana orang gila dan mana orang yang sehat. Tetapi pembatasan secara hukum memang diperlukan untuk mempertegas dan membuat batasan yang pasti sebagaimana pasal 4 ayat (3) tersebut.

 

Fasilitasi Surat Keterangan Dokter dan Bukan Sosialisasi untuk Memilih

Jika tidak mungkin orang gila membuat surat keterangan dokter untuk dirinya sendiri lantas siapa yang bertanggungjawab untuk itu?

Harus kita pahami bahwa syarat-syarat pemilih yang di atur dalam pasal 4 ayat (2) membuktikan bahwa Pemerintah dalam hal ini KPU memiliki hak dan kewajiban mengatur dan membatasi hak pilih orang yang terganggu jiwa dan ingatannya agar tidak bisa memilih sehingga kualitas pemilu yang diselenggarakan dapat lebih baik.

Karena Pemerintah yang berhak membatasi maka sudah seharusnya pemerintah setidaknya memfasilitasi bagi terbitnya surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa seseorang terganggu jiwa/ingatannya.

Secara sederhana maka rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia yang memiliki pasien dengan kategori terganggu jiwa/ingatannya membuatkan rekomendasi ke KPU untuk mencabut sementara hak pilih mereka sampai dapat dibuktikan dengan keterangan dokter bahwa mereka sudah sehat wal afiat.

Jadi salah besar jika KPU malah bersosialisasi di rumah sakit jiwa dihadapan orang yang terganggu jiwa/ingatannya mengajak mereka beramai-ramai ke TPS untuk ikut serta menggunakan hak pilihnya. Ini menunjukkan yang waras mulai ikut gila juga.

Untuk orang gila atau yang terganggu jiwa/ingatannya yang tersebar di jalanan dan tak tahu jalan pulang juga cukup mudah. Hanya dengan tak perlu memasukkan nama mereka ke dalam daftar pemilih juga sudah cukup. Toh kalau mereka sehat pasti nanti mereka akan komplain sendiri jika mereka tahu hak pilihnya hilang.

 

Pasal Kontraproduktif

Bila kita cermati lagi pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2018 diatas sejatinya menunjukkan sebuah hal yang kontraproduktif. Pasal 4 ayat (2) point b secara jelas dan meyakinkan mengandung makna bahwa orang yang terganggu jiwa/ingatannya TIDAK BOLEH MEMILIH atau tidak memenuhi syarat sebagai pemilih. Hakikatnya ini yang menjadi hal utama.

Namun, kenyataannya pasal 4 ayat (3) justru melahirkan gagasan baru sehingga lebih memunculkan peluang adanya perubahan makna utama dari ayat sebelumnya. Coba kita perhatikan pemahaman yang berkembang di masyarakat saat ini bahwa orang gila punya hak pilih. Bukankah ini akibat adanya ayat (3) ini?

Keberadaan pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 11 Tahun 2018 ini sejatinya perlu dikaji ulang. Pembatasan makna terganggu jiwa/ingatannya dalam ayat (3) justru menimbulkan polemik alih-alih jalan keluar. Padahal tanpa perlu dibatasi oleh ayat (3) ini pemahaman tentang terganggu jiwa/ingatannya atau biasa kita sebut orang gila sudah memiliki definisi tersendiri di masyarakat. Bahwa orang gila memiliki ukuran dan karakter yang secara jelas dapat dibedakan ditengah-tengah masyarakat. Baik itu yang berkeliaran atau menjadi pasien di RSJ atau semacamnya.

Bila pun perlu diatur pembatasan mengenai definisi terganggu jiwa/ingatannya sejatinya tidak menyulitkan dan justru melahirkan gagasan yang berbeda dari pokok utamanya.

So, memberikan kesempatan orang gila memilih sama saja merendahkan suara orang-orang yang waras.